Kegiatan Apresiasi Karya Bakti Pancasila : Menulis Artikel tentang "Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Dunia Pendidikan"
Adaptasi Kebiasaan Baru
dalam Dunia Pendidikan
Oleh: Erdis Ega Yuliantoro
Pada awal tahun 2020, seluruh
wilayah belahan di dunia digemparkan dengan pemberitaan di berbagai media baik
media cetak maupun media elektronik mengenai munculnya wabah virus yang bernama
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Virus yang diidentifikasi berasal negeri tirai bambu, China ini telah menyebar
secara cepat dan meluas sehingga menjadi wabah atau pandemi yang mengglobal.
Ratusan negara di dunia telah terpapar virus ini, tidak terkecuali Indonesia.
Kemunculan wabah covid-19 menimbulkan
berbagai dampak bagi lintas sektoral kehidupan masyarakat Indonesia,
diantaranya sektor ekonomi, sosial, politik, kesehatan, dan pendidikan.
Berbagai dampak yang terjadi akibat pandemi covid-19 memberikan perubahan bagi
sektor-sektor tersebut salah satunya bagaimana cara manusia beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Sekitar awal bulan Maret
2020, dampak resiko dari covid-19 tersebut membuat pemerintah mengeluarkan
keputusan untuk menerapkan physical
distancing (jaga jarak) dengan membatasi aktivitas masyarakat di luar
rumah, mulai dari aktivitas sosial masyarakat, aktivitas para karyawan
perusahaan dan perkantoran diberlakukan bekerja dari rumah, dan termasuk aktivitas
di dunia pendidikan untuk mengubah pola pembelajaran menjadi pembelajaran jarak
jauh (PJJ) melalui metode dalam jaringan (daring) atau biasa dikenal dengan
istilah online.
Dengan adanya
perubahan-perubahan lintas sektor tersebut mengakibatkan mau tidak mau seluruh
lapisan masyarakat harus menerimanya karena telah tegas diputuskan oleh
pemerintah. Misalnya saja di sektor ekonomi. Pada sektor ekonomi terdapat
banyak aktivitas ekonomi baik produksi, distribusi, maupun konsumsi yang mengalami
dampak secara langsung sehingga mengakibatkan kerugian bagi beberapa pelaku
ekonomi. Namun, mereka harus tetap produktif menjalankan roda ekonomi dengan
melaksanakan adaptasi kebiasaan baru yang ketat melalui kepatuhan terhadap
protokol kesehatan. Tidak terkecuali di sektor pendidikan. Tidak mungkin
pendidikan harus berhenti begitu saja akibat pandemi ini. Pendidikan merupakan
modal penting bagi kemajuan bangsa karena melalui pendidikanlah akan tercipta
generasi emas yang mampu membawa perubahan menuju Indonesia lebih baik. Oleh
sebab itu, sektor pendidikan pun harus tetap berlangsung dengan menerapkan
adaptasi kebiasaan baru (new normal).
Theresia Irawati, SKM, M.Kes., Direktorat
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat menuliskan pada laman
promkes.kemkes.go.id bahwa yang dimaksud dengan New Normal adalah suatu tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh
masyarakat dan semua institusi yang ada di wilayah tersebut untuk melakukan
pola harian atau pola kerja atau pola hidup baru yang berbeda dengan
sebelumnya. Bila hal ini tidak dilakukan, akan terjadi risiko penularan. Tujuan
dari New Normal adalah agar
masyarakat tetap produktif dan aman dari Covid-19 di masa pandemi. Selanjutnya
agar New Normal lebih mudah diinternalisasikan
oleh masyarakat maka “New Normal”
dinarasikan menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Maksud dari Adaptasi Kebiasaan
Baru adalah agar kita bisa bekerja, belajar, dan beraktivitas dengan produktif
di era Pandemi Covid-19.
Bagaimana dengan dunia Pendidikan?
Apakah sekolah-sekolah akan dibuka dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar
(KBM) ?, mengingat sekolah merupakan tempat bertemunya antara pendidik dan
puluhan bahkan ratusan peserta didik dalam waktu bersamaan. Jawabnya adalah
tentu saja sekolah juga harus mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru baik
melalui model pembelajaran dalam jaringan (daring), luar jaringan (luring),
maupun kombinasi keduanya.
Berbicara mengenai adaptasi
kebiasaan baru, merupakan langkah tepat yang diambil oleh pemerintah, apalagi
dalam sektor pendidikan. Sektor pendidikan tidak mungkin dihentikan
pelaksanaannya karena hal tersebut berkaitan dengan masa depan generasi penerus
bangsa yang haus akan ilmu pengetahuan namun di sisi lain mereka juga harus
dilindungi dari penyebaran covid-19. Sejalan dengan prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi covid-19 yakni kesehatan dan keselamatan peserta didik,
pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas utama
dalam menetapkan kebijakan pembelajaran. Pertimbangan yang tidak kalah penting
bahwa usia pelajar terutama anak-anak merupakan kelompok rentan terhadap
covid-19, sehingga adaptasi kebiasaan baru dalam sektor pendidikan harus diputuskan
secara matang dan dipersiapkan secara maksimal. Jangan sampai keinginan untuk
tetap membuka kembali sekolah malah akan menimbulkan permasalahan baru yaitu
meningkatnya kasus covid-19 dari klaster pendidikan.
Berdasarkan Siaran Pers
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 210/Sirpres/A6/VIII/2020, pemerintah
mengumumkan “penyesuaian keputusan bersama empat Menteri tentang Panduan
Pembelajaran di Masa Pandemi covid-19. Salah satunya bahwa pelaksanaan
pembelajaran di zona selain merah dan oranye
yakni di zona kuning dan hijau untuk dapat melaksanakan pembelajaran
tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Sementara
bagi daerah yang berada di zona oranye dan merah dilarang melakukan
pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan dan tetap melanjutkan Belajar Dari
Rumah (BDR)”.
Pada Siaran Pers ini, Mendikbud,
Nadiem Anwar Makarim menekankan bahwa “sekalipun daerah sudah dalam zona hijau
atau kuning, pemda sudah memberikan izin dan sekolah sudah kembali memulai
pembelajaran tatap muka, orang tua atau wali tetap dapat memutuskan untuk
anaknya tetap melanjutkan Belajar dari Rumah (BDR)”. Dengan demikian, pihak
sekolah harus bekerja sama dan bergotong royong dengan berbagai elemen
masyarakat termasuk dengan lembaga terkait diantaranya puskesmas atau klinik
kesehatan. Sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama,
puskesmas tentu menjadi rujukan bagi sekolah dalam menerapkan protokol
kesehatan apabila para siswa kembali melaksanakan KBM tatap muka di sekolah.
Selain itu, pihak sekolah juga harus bermusyawarah dengan komite atau wali
murid apabila memutuskan KBM tatap muka di sekolah karena wali murid lah yang
memiliki keputusan secara langsung bagi anak-anaknya terkait kesehatan mereka.
Bagi sekolah yang berada di
zona oranye dan merah, para siswa tetap melanjutkan program BDR sedangkan para
guru mengajar dari sekolah. Sudah jelas bahwa di daerah zona oranye dan merah, para
siswa dan guru tidak diperkenankan untuk melaksanakan KBM secara tatap muka di
sekolah. Tentunya pihak sekolah harus mematuhi keputusan tersebut mengingat Kemendikbud
merupakan eksekutor keputusan pengambil kebijakan pendidikan di tingkat pusat.
Program BDR ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, sekitar hampir tujuh
bulan sejak kali pertama pemerintah mengumumkan keputusan program BDR. Selama
ini, Kemdikbud juga melakukan terobosan-terobosan supaya para siswa tidak
merasa jenuh ketika belajar di rumah. Salah satunya program BDR bersama TVRI. Materi
yang diberikan pada program ini antara lain peningkatan literasi, numerasi, dan penumbuhan
karakter peserta didik. Selain materi pembelajaran untuk jenjang PAUD
hingga Pendidikan Menengah, program ini juga menayangkan materi bimbingan untuk
orang tua dan guru serta program kebudayaan di akhir pekan, yakni setiap hari
Sabtu dan Minggu.
Setelah berjalan hampir
tujuh bulan, muncul berbagai permasalahan terkait dengan Program BDR. Pertama,
pemanfaatan teknologi edukasi. Proses KBM yang beralih dari tetap muka menjadi
dalam jaringan (daring) memberikan permasalahan sendiri bagi para guru yang
belum siap dengan teknologi berbasis edukasi seperti zoom, youtube, google suite for education, dan lain aplikasi
teknologi edukasi lainnya. Hakikat pembelajaran merupakan proses komunikasi dua
arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar
dilakukan oleh peserta didik atau murid. Akibat kurangnya pengetahuan guru
terhadap teknologi edukasi menyebabkan guru belum sepenuhnya menerapkan
pembelajaran interaktif atau komunikasi dua arah dengan siswanya sehingga proses
KBM terkesan monoton, siswa mudah bosan, dan bahkan sebagian siswa merasa stres
menemui materi pembelajaran yang lumayan susah. Adaptasi kebiasaan baru
terhadap teknologi edukasi ini kemungkinan dapat diimplementasikan oleh para
guru melalui pembinaan-pembinaan teknologi edukasi kepada para guru secara
berkelanjutan dan tidak hanya sekali atau dua kali kegiatan pembinaan. Ke
depannya, para guru diharapkan mampu memanfaatkan berbagai macam teknologi edukasi
dengan tepat dan efektif sehingga pedagogi pendidikan 3.0 dapat terwujud. Selain
itu, guru sebagai jiwa pembelajar perlu belajar untuk terus mengasah kemampuan
dan kreativitasnya dalam menyajikan konten pelajaran yang bermutu dan memikat
daya tarik serta memberikan pemahaman bagi siswa. Kemendikbud juga sudah
meluncurkan program Guru Berbagi sebagai wadah bagi para guru se-Indonesia
untuk saling berbagi perihal rencana pelaksanaan pembelajaran dan best practice di sekolahnya
masing-masing sehingga dapat menjadi inspirai bagi guru lain.
Kedua, kemandirian dan
tanggungjawab belajar siswa di rumah. Kemandirian dan tanggungjawab belajar
menjadi modal utama bagi siswa yang harus dipenuhi dalam pembelajaran daring.
Keterbatasan untuk bertatap muka langsung dengan guru, membuat siswa harus
mandiri dalam memahami materi dan tanggungjawab dalam mengerjakan tugas yang
ada. Siswa harus memahami dengan baik materi yang disajikan pada buku maupun
yang telah dijelaskan oleh guru. Kemudian, siswa menyelesaikan tugas yang
diberikan guru termasuk juga melaporkannya. Dalam memahami materi dan
mengerjakan tugas tersebut, tentu proses aktivitas belajar siswa tidak semudah
yang dibayangkan. Ketidakpahaman terhadap suatu materi mungkin saja terjadi.
Apalagi jika materi yang diberikan, butuh penjelasan yang lebih detail dan
mendalam, misalnya materi pada mata pelajaran matematika. Tentu, pembelajaran
daring tidak dapat segera mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karenanya,
pendampingan dari orang tua diperlukan dalam proses pembelajaran daring.
Meskipun hal ini tidak mudah, orangtua juga harus dapat berperan selayaknya
seorang guru. Jika orang tua dapat berperan dengan baik dalam mendampingi
anaknya, permasalahan tersebut menjadi berkurang. Namun sebaliknya, jika
orangtua juga mempunyai keterbatasan misalnya masih gagap teknologi, kurangnya
pengetahuan, dan cuek terhadap anaknya maka tentunya menimbulkan permasalahan
yang baru. Dengan demikian, komunikasi antara guru dan orangtua secara
berkelanjutan sangat diperlukan untuk memantau dan mengetahui perkembangan
siswa selama belajar di rumah.
Ketiga, tidak semua siswa
memiliki gawai, susah signal internet, dan mahalnya pulsa data internet. Selain
laptop, gawai (handphone) merupakan
alat utama yang digunakan untuk pembelajaran daring. Tetapi, tidak semua siswa
mempunyai alat komunikasi ini. Mungkin, gawai menjadi barang mewah bagi siswa
dari kalangan keluarga yang ekonominya tidak mampu. Bahkan ada juga orangtua
siswa yang rela memaksa untuk membelikan gawai demi kegiatan pembelajaran
anaknya. Apabila sudah memiliki gawai, masalah lain yang sering muncul dalam
pembelajaran daring yakni susah signal internet bagi siswa yang rumahnya
terletak di wilayah geografis tertentu. Di samping itu tidak jarang orangtua
yang mengeluh dengan mahalnya pulsa data internet. Permasalahan mahalnya kuota
data internet ini sudah terjawab dengan adanya program Kemdikbud tentang
pemberian kuota internet bagi siswa dan guru.
Pandemi covid-19 ini telah
memaksa dan mengharuskan PJJ bagi guru dan BDR bagi siswa. Oleh sebab itu, mau
tidak mau guru juga harus mempelajari pemanfaatan teknologi berbasis edukasi. Banyak
yang menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi dalam dunia pendidikan di masa
pandemi diawali dari keterpaksaan. Setidaknya guru harus berpikir positif bahwa
ada hikmah di balik pandemi ini, yakni dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi
semakin tahu atau melek terhadap teknologi edukasi. Minimal pemanfaatan
aplikasi WhatsApp untuk KBM secara
daring.
Pandemi covid-19 telah ada di Indonesia dan kita dituntut hidup berdampingan dengan makhluk yang sangat kecil ini. Kini, kita harus mulai beradaptasi terhadap perubahan pola perilaku dalam kebiasaan baru. Secara umum, adaptasi kebiasaan baru yang dimaksud diantaranya sering cuci tangan pakai sabun, pakai masker, jaga jarak, istirahat cukup dan rajin olahraga, dan makan makanan bergizi seimbang. Di sektor pendidikan, adaptasi kebiasaan baru tersebut haruslah dilaksanakan dengan mengedepankan sikap kerjasama, bahu membahu, dan bergotong royong mulai dari instansi pendidikan pusat, intansi pendidikan daerah, instansi pendidikan wilayah, satuan pendidikan (sekolah), komite sekolah, wali murid, dan tentu terutama para siswa.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkomentar dengan santun